Rabu, 29 April 2009

Popeye: Misi Hiburan dan Kepentingan Pemerintah AS


Tentunya tidak asing mendengar kata: “Popeye is the Sailorman”. Ya, serial film kartun yang sering diputar di beberapa stasiun televisi. Popeye digambarkan sebagai seorang pelaut Amerika (US Navy) yang memiliki kegemaran makan sekaleng bayam (spinach) untuk membuat tubuhnya jauh lebih kuat dalam setiap aksinya. Tapi tahukah Anda, ternyata ada kepentingan Pemerintah Amerika yang diselipkan dalam pembuatan tokoh Popeye tersebut?

Adalah Elzie Crisler Segar yang menciptakan tokoh Popeye di tahun 1929, dimana pada masa itu baru sebatas komik strip di Harian King Features. Di tahun 1933, Popeye mulai dibuat serialnya dalam bentuk film/ motion pictures dan makin populer hingga tahun 1957.

Masa-masa kepopuleran Popeye adalah masa-masa Amerika mengalami depresi , sekaligus perang dunia. Pengetatan ekonomi berlangsung di mana-mana. Ketika Perang Dunia II berlangsung, sumberdaya termasuk sumber pangan banyak diarahkan untuk keperluan perang. Logikanya, untuk membentuk pasukan tempur yang kuat diperlukan personel-personel tentara yang selalu dalam kondisi fit. Tentu saja kondisi tersebut mengharusnya adanya asupan gizi yang cukup dan seimbang, maka daging, telur, ikan, dan sebagainya dibawa ke medan peperangan untuk dukungan logistik pasukan tempur. Sebaliknya rakyat di dalam negeri hanya mendapatkan “sisa”-nya, diantaranya “bayam”.

Serial Popeye membantu ‘membujuk’ rakyat Amerika agar mau ‘berkorban’ demi ‘kepentingan negara’. Popeye menjadi semacam alat propaganda pemerintah AS pada jamannya, agar rakyat tidak mengomel karena kekurangan makanan (berprotein). Tidak apa-apa makan bayam terus-terusan. Toh Popeye bisa jadi superhero karena makan bayam.
Mengapa bayam yang dipilih? Pertama, bayam mudah tumbuh di mana-mana, dan bisa dipanen dengan cepat. Kedua, penelitian Dr. E Von Wolf di tahun 1870 yang menyimpulkan bahwa bayam memiliki kandungan zat besi 10 kali lebih tinggi dibanding sayuran lainnya. Belakangan, di tahun 1937, hasil penelitian tersebut dikoreksi dimana kandungan zat besi bayam sama saja dengan sayur lainnya! Akan tetapi, sejak kemunculan kartun Popeye tahun 1929, masyarakat terlanjur telah menyambut lahirnya legenda kekuatan otot bayam.

(Disarikan dari berbagai sumber)

Selasa, 28 April 2009

Permen = Alat Transaksi “Sah”?

Tentu sudah banyak yang tahu apa itu permen. Suatu makanan yang tidak asing bagi anak-anak sampai orang dewasa karena rasanya yang manis dan mulai banyak variasinya baik bentuk maupun rasanya. Tapi dibalik bentuk mungilnya itu, ternyata permen tidak hanya menjadi pemanis dan penggoyang lidah saja akan tetapi juga dapat digunakan sebagai alat transaksi yang “sah”. Tahu maksudnya khan? Lihat saja, di toko-toko dari skala kecil sampai gedhe, di meja petugas kasir selalu disediakan setoples permen yang memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai barang dagangan karena bisa dijual, juga sebagai alat transaksi belanja (meski hanya sebatas digunakan sebagai pengganti pengembalian recehan saja). Nilai nominal permen pun beragam tergantung merk, terendah senilai Rp. 25,- kalo tertingginya kayaknya Rp. 100,-. Yang lebih menggelikan lagi saat transaksi di apotek, saat itu beli obat sakit gigi P**s**n sebanyak empat tablet, saya bayar dapat kembalian permen dua buah (dalam hati saya bilang, “lagi sakit gigi koq malah dikasih permen, dua lagi, ini namanya beli obat dikasih racunnya juga”). Kalo dihitung-hitung, misalnya bertransaksi sama di apotek tersebut, kalo dikumpulin bisa dapat permen seplastik tuh. Muncul ide nakal dikit, kalo nanti beli obat di apotek itu lagi saya bayar pake permen aja ahh, hahahaha...... (apa mau???).

Model transaksi manual uang fisik memang kelemahannya seperti itu, apalagi kalo nilai nominal barang semakin naik. Jika saat transaksi dilakukan, ada kelebihan pembayaran otomatis akan ada pengembalian pembayaran sejumlah selisih uang yang dibayarkan dengan harga barang. Kalo uang pengembalian itu memiliki 2 atau 3 digit angka nol di belakang, tidak akan jadi masalah karena masih bisa diusahakan mencari nilai uang tersebut. Masalahnya akan terjadi kali tidak ada angka nol pada digit belakangnya, misalnya Rp. 1.415,-. Solusi untuk mengatasi hal tersebut ada pada kebijakan pengelola market, paling banyak dibulatkan ke atas menjadi Rp. 1.450,-, meski ada juga yang membulatkan ke bawah menjadi Rp. 1.400,-. Lain halnya jika transaksi dilakukan secara elektronik, maka besarnya pembayaran bisa disesuaikan dengan harga barang hingga nilai dibelakang koma. Masalahnya tidak semua transaksi di toko bisa dilakukan dengan elektronik, dan kadang toko yang sudah menerapkan transaksi elektronik itu pun belum tentu sesuai dengan kartu yang dimiliki konsumen karena adanya beda layanan penyedia kartu (VISA/MASTER Card). Yang perlu diingat setiap transaksi elektronik memiliki beban tambahan tergantung penyedia layanannya, misalnya adanya iuran tahunan, beban bunga bulanan, dan biaya administrasi bulanan.

Sekarang, mau pilih permen atau kartu transaksi elektronik. Tergantung kebutuhannya donk, kalau sering belanja di toko dan supermarket dalam jumlah relatif besar boleh pake kartu transaksi elektronik, soalnya kata iklan makin sering gesek poinnya makin bertambah. Tapi sebaliknya kalau frekuensi belanjanya jarang2, pake permen saja, maksudnya bayarnya pake uang fisik trus kembaliannya permen ga apa2 lah.